Jumat, 19 Februari 2010

Peraturan Perundang-Undangan Lain

Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain sebagaimana yang disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 7 ayat (4) antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Lebih lanjut disebutkan bahwa “hirarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.

PERATURAN DAERAH

Peraturan Daerah merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Yang berwenang membuat Peraturan Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah. Peraturan Daerah dibedakan antara Peraturan Daerah Provinsi, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Gubernur serta Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Peraturan Daerah dapat merupakan pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, maka materi (substansi) Peraturan Daerah seyogyanya tidak bertentangan dengan dan berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat).

Sedangkan untuk Peraturan Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi, maka substansi Peraturan Daerah tersebut tidak harus berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat), tetapi harus menyesuaikan pada kondisi otonomi (kemampuan) daerah masing-masing.

Peraturan Daerah adalah sebangun dengan Undang-Undang, karena itu tata cara pembentukannya pun identik seperti tata cara pembentukan Undang-Undang dengan penyesuaian-penyesuaian. Salah satu perbedaan yang terdapat dalam Peraturan Daerah adalah adanya prosedur atau mekanisme pengesahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi untuk materi (substansi) Peraturan Daerah tertentu, misalnya materi mengenai retribusi.

PERATURAN PRESIDEN

Peraturan Presiden merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945. Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Presiden disebutnya adalah Keputusan Presiden, karena pada waktu itu Keputusan Presiden mempunyai dua sifat, yaitu Keputusan Presiden yang bersifat sebagai pengaturan (regelling) dan Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan (beschikking).

Namun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan disebutkan Keputusan Presiden, sedangkan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur disebut Peraturan Presiden.

PERATURAN PEMERINTAH

Peraturan Pemerintah merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah baru dapat dibentuk apabila sudah ada Undang-Undangnya. Ada beberapa karakteristik Peraturan Pemerintah, yaitu:

1. Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa ada Undang-Undang induknya.

2. Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, jika Undang-Undang induknya tidak mencantumkan sanksi pidana.

3. Peraturan Pemerintah tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan Undang-Undang induknya.

4. Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meskipun Undang-Undang yang bersangkutan tidak menyebutkan secara tegas, asal Peraturan Pemerintah tersebut untuk melaksanakan Undang-Undang.

5. Tidak ada Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 atau TAP MPR.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

Jenis Peraturan Perundang-undangan ini (setara Undang-Undang) merupakan kewenangan Presiden karena pembentukannya tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, meskipun pada akhirnya harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan ditetapkan menjadi Undang-Undang. Kewenangan Presiden ini dilakukan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan:

1. Perpu harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut;

2. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan;

3. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, Perpu tersebut harus dicabut.


Dengan demikian, Perpu hanya dikeluarkan "dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa". Dalam praktik "hal ikhwal kegentingan yang memaksa" diartikan secara luas, tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman, tetapi juga kebutuhan atau kepentingan yang dipandang mendesak. Yang berwenang menentukan apakah suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai "kegentingan yang memaksa" adalah Presiden. Di samping itu, Perpu berlaku untuk jangka waktu terbatas, yaitu sampai dengan masa siding Dewan Perwakilan Rakyat berikutnya. Terhadap Perpu yang diajukan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat juga hanya dapat menyetujui atau menolak saja. Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa, misalnya; menyetujui Perpu tersebut dengan melakukan perubahan.

Undang-Undang

Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dan TAP MPR. Yang berwenang membuat Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden. Ada beberapa kriteria agar suatu masalah diatur dengan Undang-Undang, antara lain sebagai berikut :

1. Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang dibentuk atas perintah Ketetapan MPR;

3. Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang terdahulu;

4. Undang-Undang dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah Undang-Undang yang sudah ada;

5. Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan hak asasi manusia;

6. Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang banyak.

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. Berdasarkan Ketetapan MPR yang pernah ada yaitu Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan Tap MPRS No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 pada posisi yang paling tinggi, hal ini disebabkan karena Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan Negara.

Hal yang sama juga diterapkan didalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana menempatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan jenis Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi. Dengan demikian, materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak bolehbertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulis bagi bangsa Indonesia.

JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

enis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan TAP MPR tersebut, jenis

Peraturan Perundang-Undangan adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia;

3. Undang-undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);

5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden;

7. Peraturan Daerah.

Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);

3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah.

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi:

1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur;

2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;

3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dengan itu, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.

4. Selain Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dan keberadaanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur;

Penyebutan jenis Peraturan Perundang-undangan di atas sekaligus merupakan hirarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, suatu Peraturan Perundang-undangan selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada Peraturan Perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya. Konsekuensinya, setiap Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut.

LANDASAN PENYUSUNAN PERUNDANGAN

1. Prinsip Peraturan Perundang-Undangan

a. Dasar Peraturan Perundang-Undangan selalu Peraturan Perundang-Undangan.

b. Hanya Peraturan Perundang-Undangan tertentu saja yang dapat dijadikan Landasan Yuridis.

c. Peraturan Perundang-Undangan yang masih berlaku hanya dapat dihapus, dicabut, atau diubah oleh Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi.

d. Peraturan Perundang-Undangan baru mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan Lama.

e. Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah.

f. Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat umum.

g. Setiap Jenis Peraturan Perundang-Undangan materi muatannya berbeda.

2. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

a. Asas Formil

Asas formil dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik yaitu meliputi:

1) Kejelasan tujuan;

2) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

3) Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

4) Dapat dilaksanakan;

5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

6) Kejelasan rumusan;

7) Keterbukaan

b. Asas Materiil

Materi Peraturan Perundang-Undangan mengandung asas:

1) Pengayoman;

2) Kemanusiaan;

3) Kebangsaan;

4) Kekeluargaan;

5) Kenusantaraan;

6) Kebhinnekatunggalikaan;

7) Keadilan yang merata;

8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

9) Ketertiban dan kepastian hukum;

10) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

3. Asas Pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan

Ada 3 (tiga) asas pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan yakni asas yuridis, asas filosofis, asas sosiologis. Teknik penyusunan Peraturan Perundang-Undangan merupakan hal lain yang tidak mempengaruhi keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan, namun menyangkut baik atau tidaknya rumusan suatu Peraturan Perundang-Undangan.

KONSEP NEGARA HUKUM

1. Sejarah Negara Hukum

Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan sejarah manusia, oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, pada dataran implementasi ternyata memiliki karakteristik beragam.

Pemikiran-pemikiran tentang konsep Negara Hukum sebelum konsep Negara Hukum berkembang seperti sekarang ini, diantaranya dikemukakan oleh beberapa ahli berikut ini:

a. Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikalbakal pemikiran tentang Negara hukum. Dalam nomoi Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik.

b. Aristoteles mengemukakan ide Negara hukum yang dikaitkannya dengan arti Negara yang dalam perumusannya masih terkait kepada “polis”. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum. Manusia perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan menjelmakan manusia yang bersifat adil. Apabila keadaan semacam itu telah terwujud, maka terciptalah suatu negara hukum”, karena tujuan Negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan.

c. Machiavelli, seorang sejarawan dan ahli Negara telah menulis bukunya yang terkenal ”II Prinsipe (The Prince)” , mengemukakan dalam usaha untuk mewujudkan supaya suatu Negara menjadi suatu Negara nasional raja harus merasa dirinya tidak terikat oleh norma-norma agama atau pun norma-norma akhlak. Raja dianjurkan supaya jangan berjuang dengan mentaati hukum; raja harus menggunakan kekuasaan dan kekerasan seperti halnya juga binatang.

d. Jean Bodin juga menganjurkan absolutisme raja. Beliau berpendapat bahwa dasar pemerintah absolut terletak dalam kedaulatan yaitu kekuasaan raja yang superior.

e. Thomas Hobbes dalam teorinya yaitu teori Hobbes, perjanjian masyarakat yang tidak dipakai untuk membangun masyarakat (civitas) melainkan untuk membentuk kekuasaan yang disebabka kepada raja. Jadi raja bukan menerima kekuasan dari masyarakat melainkan ia memperoleh wewenang dan kuasanya kepada raja, maka kekuasaan raja itu mutlak.

Perlawanan terhadap kekuasaan yang mutlak dari raja secara konkret dilaksanakan dengan memperjuangkan sistem konstitusional, yaitu system pemerintahan yang berdasarkan konstitusi. Pemerintahan tidak boleh dilakukan menurut kehendak raja saja, melainkan harus didasarkan pada hukum konstitusi. Perjuangan konstitusional yang membatasi kekuasaan raja banyak dipengaruhi oleh berbagai perkembangan, diantaranya:

a. Reformasi

b. Renaissance

c. Hukum Kodrat

d. Timbulnya kaum bourgeoisi beserta aliran Pencerahan Akal (Aufklarung).

Seiring dengan berkembang jaman dan tuntutan masayarakat pada waktu, lahir pula gagasan atau pemikiran untuk melindungi hak-hak asasi manusia yang dipelopori oleh pemikir-pemikir Inggris dan Prancis yang sangat mempengaruhi tumbangnya absolutisme dan lahirnya Negara Hukum.